Pages

24 Mar 2009

Mars permukaan yang basah

Dua studi terpisah yang didasarkan atas data yang didapat dari wahana Mars Reconnaissance Orbiter milik NASA telah mengungkapkan bahwa planet merah tersebut di suatu waktu pernah menyimpan danau-danau yang luas, sungai yang mengalir serta lingkungan berair lainnya yang potensial untuk mendukung bentuk kehidupan.

Salah satu studi, diterbitkan di jurnal Nature pada 17 Juli lalu menunjukkan daerah yang luas dari dataran tinggi purba di Mars, yang meliputi sekitar setengah permukaan planet tersebut, mengandung mineral tanah liat, yang hanya bisa terbentuk apabila terdapat air. Lava vulkanis terkubur dibawah daerah yang kaya akan tanah liat dalam periode yang lebih kering pada sejarah planet itu. Data ini diperoleh dari perangkat Compact Reconnaissance Imaging Spectrometer for Mars (CRISM) dan sejumlah instrumen lainnya pada wahana tersebut.

Mineral yang mirip tanah liat, disebut phyllosilicates, tersebut menyimpan catatan interaksi air dengan batuan dari masa yang dikenal sebagai periode Noachian pada sejarah planet Mars, sekitar 4,6 miliar hingga 3,8 miliar tahun lalu. Periode ini berhubungan dengan masa-masa awal dari tata surya, dimana Bumi, Bulan, dan Mars secara konstan dibombardir oleh komet dan meteorit. Di bumi, batuan dari periode ini sebagian besar telah dihancurkan dalam lempeng tektonik. Sementara di bulan, batuan tersebut terawetkan dengan baik, namun tidak pernah berinteraksi dengan air cair. Batuan Mars yang mengandung phyllosilicates menyimpan catatan yang unik tentang lingkungan dengan air berbentuk cair yang mungkin sesuai untuk mendukung kehidupan pada masa awal tata surya.


Citra dari kawah Jazero, yang diperkirakan pernah menyimpan danau. Aliran sungai purba yang membawa mineral mirip tanah liat (ditunjukkan dalam warna hijau) ke dalam danau membentuk sebuah delta. Tanah liat kemudian mengendap di dasar danau dan dapat mengawetkan materi organik. (Gambar: NASA/JPL/JHUAPL/MSSS/Brown University)

Seperti dijelaskan oleh John Mustard, anggota tim CRISM dari Brown University dan penulis utama studi tersebut, mineral-mineral tersebut menunjukkan adanya keragaman pada lingkungan yang basah di Mars. “Pada kebanyakan lokasi, batuan sedikit terkikis oleh air cair, namun di sejumlah kecil lokasi, batuan tersebut telah sedemikian terkikis, seperti sejumlah besar air telah megalir diantara batuan dan tanah.”

Sementara itu, studi lain yang dipublikasikan pada jurnal Nature Geosciences edisi 2 Juni mengungkapkan bahwa lingkungan basah di Mars berlangsung selama periode yang cukup lama. Ribuan hingga jutaan tahun setelah tanah liat terbentuk, sebuah sistem aliran sungai mengerosi lapisan ini dari dataran tinggi dan mengumpulkannya di sebuah delta, dimana sugai bermuara pada sebuah danau kawah berdiameter sekitar 25 mil (40 km), atau sedikit lebih besar dari danau Tahoe di California.

“Penyebaran tanah liat di dasar danau purba tersebut menunjukkan bahwa genangan air telah ada disana selama ribuan tahun,” jelas Bethany Ehlmann, anggota tim CRISM lainnya dari Brown University. Ehlmann adalah penulis utama dari makalah tentang danau purba pada kawah benturan meteorit, dinamai kawah Jazero, yang terletak di belahan utara Mars. “Tanah liat sangat baik dalam mengawetkan materi organik, hingga sekiranya kehidupan pernah ada di kawasan ini, ada kemungkinan bahwa unsur-unsur kimianya terawetkan di delta.”

Resolusi spasial dan spektral yang dimiliki perangkat CRISM lebih baik daripada spektrometer yang pernah dikirim ke Mars sebelumnya, dan mengungkap variasi dalam jenis dan komposisi mineral phyllosilicate. Dengan mengkombinasikan data dari CRISM dan perangkat Context Imager and High Resolution Imaging Science Experiment yang dibawa wahana yang sama, tim Ehlmann mengidentifikasi tiga golongan utama dari mineral yang berhubungan dengan air yang berasal dari awal periode Noachian. Variasi mineral itu menunjukkan perbedaan proses atau perbedaan tipe lingkungan basah yang telah membentuknya.

Para ilmuwan berniat memanfaatkan data penemuan ini untuk menentukan lokasi pendaratan wahana berikutnya yang akan mencari senyawa kimia organik serta mencari tahu apakah kehidupan pernah berkembang di Mars. (mars.jpl.nasa.gov/mro)

Es di Permukaan Mars?

Walaupun masih belum bisa dibuktikan secara langsung melalui pengukuran ilmiah, para ilmuwan meyakini bahwa mereka telah berhasil menemukan keberadaan es di permukaan Mars. Hal tersebut dapat dilihat dari material misterius berwarna putih yang terlihat di permukaan Mars beberapa hari terakhir.

Citra yang dikirimkan wahana Phoenix Mars Lander memperlihatkan material yang berwarna lebih cerah daripada lingkungan sekitarnya di ujung lokasi pengerukan sampel. Hal ini sempat memancing keingin-tahuan para ilmuwan yang terlibat mengenai apakah apakah material tersebut benar-benar es seperti perkiraan selama ini ataukah onggokan garam.

Namun, pengamatan selama beberapa hari menunjukkan bahwa bagian yang berwarna putih tersebut berangsur-angsur menghilang. Dengan demikian, kemungkinan besar material tersebut memang es yang kemudian menguap setelah terpapar suhu yang lebih hangat di permukaan. Garam tak mungkin hilang karena tidak menguap. Demikian seperti dijelaskan oleh Peter Smith, salah satu peneliti utama misi Phoenix.


Citra permukaan Mars yang diambil tanggal 15 Juni (kiri) dan 19 Juni (kanan). Lapisan putih tipis di sebelah kiri terlihat menyusut, diperkirakan akibat penguapan. (Gambar: NASA)

Sekalipun demikian, bukti yang lebih akurat mengenai ada tidaknya es di Mars masih terus digali dengan mempelajari sampel tanah yang didapat. Saat berita ini diturunkan, Phoenix telah selesai melakukan pengambilan sampel dari lokasi dimana bercak putih tersebut ditemui. Sampel tersebut kini sedang dianalisis oleh laboratorium mini pada wahana Phoenix.

Phoenix mendarat di daerah yang dekat dengan kutub utara Mars. Para ilmuwan yakin di bawah permukaan tanah di lokasi pendaratannya terdapat es. Misi utama wahana pendarat milik badan antariksa AS ini membuktikan hal tersebut sekaligus mempelajari apakah lingkungan di planet merah tersebut mendukung keberadaan organisme hidup. (mars.jpl.nasa.gov)

Melihat Gas Yang Mengelilingi Bayi Bintang


Dengan menggunakan Very Large Telescope Interferometer (VLTI) milik ESO, astronom berhasil melakukan survei resolusi tinggi yang menggabungkan spektroskopi dan interferometri pada bayi bintang yang memiliki massa menengah. Para astronom bisa memperoleh pemandangan proses di piringan yang memberi makan bayi bintang saat si bintang ini terbentuk. Mekanisme ini termasuk material yang runtuh ke dalam bintang, sekaligus juga gas yang dilepaskan keluar, mungkin sebagai angin pada piringan.

Bayi bintang terbentuk dari piringan gas dan debu yang mengelilingi bintang baru. Piringan gas ini di kemudian hari juga menjadi penyedia bahan dasar terbentuknya sistem keplanetan. Area pembentukan bintang yang paling dekat dari kita berjarak 500 tahun cahaya, dengan demikian piringannya hanya terlihat sebagai objek yang sangat kecil di langit. Nah, untuk bisa mempelajarinya, dibutuhkan teknik yang khusus untuk mendapatkan detail yang diperlukan. Teknik yang digunakan adalah inteferometri, yaitu teknik yang menggabungkan cahaya dua atau lebih teleskop sehingga tingkat akurasi dan detail yang didapatkan bisa bersesuaian dengan yang tampak oleh teleskop berdiameter sama dengan separasi di antara elemen interferometer berkisar antara 40-200 meter. VLTI milik ESO dalam pengamatan ini bisa mencapai resolusi milidetik-busur, sudut yang sangat kecil. Sampai saat ini interferometri digunakan untuk melacak debu yang berada dekat di sekitar bintang, namun debu hanyalah satu persen dari total massa piringan yang komponen utamanya adalah gas. Jika gas di dalam piringan bisa diketahui distribusinya, maka susunan akhir dari sistem keplanetan yang sedang terbentuk bisa diketahui.

Kemampuan dari VLTI dan instrumen AMBER untuk merekam citra saat menyelidiki objek pada resolusi milidetik-busur telah memampukan para astronom untuk memetakan gas. Studi dilakukan terhadap enam bintang muda yang berasal dari keluarga objek Herbig Ae/Be yang massanya beberapa kali massa Matahari. Objek-objek ini masih dalam masa pembentukan dan mengalami peningkatan massa karena menelan materi di sekeliling piringan. Pengamatan yang dilakukan juga digunakan untuk menunjukkan proses emisi gas, yang dapat digunakan untuk melacak proses fisis yang terjadi dekat bintang.

Perdebatan asal usul gas emisi dari bintang-bintang muda ini telah lama diperdebatkan, karena pada saat pengamatan dan penyelidikan dilakukan, resolusi yang dicapai masih belum seperti saat ini. Akibatnya, distribusi gas di dekat bintang tidak dapat diketahui dengan baik dan pada akhirnya timbul berbagai pendapat tentang proses fisis gas di area tersebut.

Astronom telah berhasil menemukan bukti keruntuhan materi pada bintang untuk kasus dua buah bintang muda, dan kasus massa yang mengalir keluar pada empat bintang muda lainnya dalam bentuk angin bintang atau dalam angin piringan. Selain itu, ada satu bintang yang debunya masih berada dekat dengan bintang dibanding kasus yang umum terjadi. Debu tersebut begitu dekat dan pada jarak tersebut temperatur yang sangat tingi harusnya membuat debu menguap. Namun sayangnya kondisi debu ini tidak teramati sehingga bisa diartikan ada semacam pelindung dari gas yang melindunginya dari cahaya bintang.

Pengamatan ini membuktikan bahwa kondisi gas disekitar bintang sangat mungkin untuk diamati dan dipelajari. Pengamatan lanjutan menggunakan VLTI spektro-interferometri akan menentukan distribusi spasial dan gerak dari gas. Dan bisa jadi akan mencoba mengungkapkan apakah garis emisi yang teramati disebabkan oleh letupan yang terjadi dari piringan atau akibat angin bintang.

Sumber : ESO

Mengurai Misteri dan Potensi Planet Super Bumi

Era tahun 1995 menjadi tonggak dimulainya pencarian planet baru di luar Tata Surya saat sebuah planet ditemukan di bintang 51 Pegasi, bintang yang mirip Matahari. Jauh sebelum itu memang telah ditemukan planet yang mengelilingi Pulsar, namun keberadaan planet lain di sekitar bintang serupa Matahari menjadi awal perburuan planet-planet di luar Tata Surya. Sejak saat itu, sudah 342 planet yang ditemukan.

Ilustrasi exoplanet kebumian. Kredit : NASA

Ilustrasi exoplanet kebumian. Kredit : NASA

Saat perburuan dimulai, planet-planet yang ditemukan hanyalah planet gas masif yang mirip Jupiter. Namun, perkembangan teknik pengamatan masa kini telah membawa manusia pada perburuan planet serupa Bumi yang lebih kecil. Planet batuan serupa Bumi di luar Tata Surya bukan lagi sebuah mimpi yang menanti untuk disingkap, karena saat ini satu per satu planet seperti itu berhasil ditemukan dan dikenal dengan nama Super Bumi.

Planet Super Bumi merupakan planet yang massanya sekitar 10 kali massa Bumi, karena jika lebih, si planet akan cenderung menjadi planet gas seperti Uranus dan Neptunus. Tak seperti planet gas raksasa, ukuran Super Bumi cukup kecil untuk memiliki permukaan tanah maupun lautan yang memungkinkan untuk mendukung kehidupan. Sampai saat ini, planet Super Bumi yang ditemukan masih belum bisa menjadi tempat liburan alias belum bisa mendukung kehidupan untuk ada di dalamnya. Pencarian masih terus dilakukan, dan tak bisa dipungkiri, suatu saat nanti mungkin saja kita akan menemukan sebuah planet yang memiliki komposisi kimia yang tepat dan jarak yang pas dari bintang induk untuk dapat mendukung berlangsungnya kehidupan di dalam planet tersebut.

Bagaimanakah kehidupan di planet Super Bumi?

Yang pertama, massa planet Super Bumi memang 10 kali massa Bumi. Namun, tak berarti ia akan memiliki diameter 10 kali lebih besar dari Bumi. Hubungan tak linier antara massa dan ukuran planet membuat planet Super Bumi akan memiliki ukuran lebih kecil. Dan jika kita bisa mengunjungi planet Super Bumi, maka kita akan merasa lebih berat. Kok bisa? Ternyata, ini dipengaruhi gravitasi planet Super Bumi yang lebih besar. Selain itu, planet Super Bumi juga memiliki atmosfer yang lebih tebal dan rapat.

Dengan mengesampingkan berbagai perbedaan, pada kondisi yang tepat Planet Super Bumi akan dapat melabuhkan kehidupan di dalamnya. Yang pasti bukan kehidupan seperti misalnya permainya pohon kelapa di pantai atau mungkin kehidupan seperti manusia. Namun, resep yang pas tersebut akan memberi kesempatan pada kehidupan untuk tumbuh dan berkembang, apa pun bentuknya.

Dan, ketika planet Super Bumi semakin banyak ditemukan, kesempatan untuk menemukan planet serupa Bumi hanya tinggal menunggu hitungan waktu.

Planet Kebumian atau Bukan ?

Ilustrasi exoplanet kebumian saat melintasi bintang induk disertai kurva cahayanya. Kredit : NASA

Ilustrasi exoplanet kebumian saat melintasi bintang induk disertai kurva cahayanya. Kredit : NASA

Bagaimanakah para peneliti bisa mengetahui sebuah planet memiliki permukaan batuan seperti Bumi dan Mars? Bagaimana mereka membedakannya dari planet gas raksasa seperti Saturnus dan Neptunus?

Jawabannya, ketika sebuah planet melintas atau transit di depan bintang induknya, ia akan menghalangi sejumlah cahaya dari bintang. Pada saat itu, bintang akan sedikit meredup.

Ketika sebuah planet gas raksasa melintas, cahaya bintang induk akan berangsur-angsur meredup. Peredupan cahaya bintang terjadi saat cahaya bintang harus melewati lapisan gas tebal di atmosfer sampai seluruh planet berada di depan si bintang. Namun, untuk planet kebumian, atmosfernya lebih tipis sehingga proses meredupnya cahaya bintang terjadi lebih cepat saat planet bergerak melintasi bintang induk.

Pada saat planet melintasi bintang, cahaya bintang yang melewati atmosfer si planet akan dapat ditelaah oleh para peneliti untuk mengetahui keberadaan komponen kimia yang bisa menjadi petunjuk kehidupan di planet tersebut.

Blogroll

About Me

Foto saya
ART. Writer. Designer. Photographer. Illustrator. Drawing