Pages

16 Jul 2009

Bintang Cepheid Ternyata Tidak Runtuh

Bintang variabel Cepheid di galaksi Bima Sakti. Kredit : ESO
Bintang variabel Cepheid di galaksi Bima Sakti. Kredit : ESO
Bintang variabel Cepheid selama ini kita kenal sebagai lilin penentu jarak dalam astronomi. Tahun 1784, John Goodricke untuk pertama kalinya menemukan bahwa bintang delta Cepheid berubah cahayanya secara berkala. Tahun 1894, Belopolsky juga menyadari kalau kecepatan radial bintang tersebut berubaha secara berkala seirama perubahan cahayanya. Dan di tahun 1914, Shapley mengemukakan hipotesa bahwa bintang ini berdenyut. Periode denyutnya berkisar antara 1-50 hari. dari sinilah ditemukan hubungan antara luminositas dan periode perubahan cahaya.

Semakin kecil rapat massa bintang, makin panjang periodenya (denyut yang makin lambat). Umumnya, bintang yang rapat massanya kecil, memiliki ukuran yang besar. Dan bintang yang berukuran besar pada umumnya memiliki luminositas yang besar. Dengan demikian bintang variabel Cepheid yang luminositasnya besar berubah-ubah cahayanya dengan periode yang besar.

Pada tahun 1912, Henrietta Levitt menemukan bahwa di Awan Magellan Kecil, galaksi kecil di luar Bima Sakti memiliki banyak sekali bintang variabel Cepheid . Karena jarak yang jauh, maka seluruh bintang yang ada di sana jaraknya sama dari pengamat. Dari sinilah Henrietta menemukan hubungan antara periode dan luminositas Cepheid yakni, makin terang suatu Cepheid periodenya akan makin besar luminositasnya. Henrietta kemudian menemukan bahwa bintang variabel Cepheid dapat digunakan sebagai penentu jarak di dalam astronomi. Untuk mengetahui jarak, digunakanlah bintang variabel Cepheid di dalam Bima Sakti yang sudah diketahui jaraknya dan memiliki luminositas yang sama sebagai perbandingan. Kombinasi dengan pengukuran kecepatan, parameter Cepheid bisa digunakan sebagai alat untuk mengukur rotasi galaksi Bima Sakti.

Gerak bintang-bintang Cepheid di dalam Bima Sakti menjadi perdebatan selama bertahun-tahun, karena jika rotasi Bima Sakti diperhitungkan bintang-bintang Cepheid akan tampak runtuh menuju Matahari dengan kecepatan rata-rata 2km/detik. Perdebatan yang muncul mempertanyakan apakah fenomena ini merupakan gerak Cepheid yang sebenarnya, sebagai konsekuensi untuk meperumit pola rotasi Bima Sakti ataukah gerak tersebut merupakan efek dari atmosfer Cepheid.

Pengukuran baru yang dilakukan oleh Nicholas Nardetto menunjukan rotasi Bima Sakti itu jauh lebih sederhana dari yang dipikirkan sebelumnya. Pengamatan yang dilakukan menggunakan spektograf HARPS dicapai oleh instrumen HARPS (High Accuracy Radial Velocity Planetary Searcher) pada teleskop 3.6 meter di La Silla, Chille, menunjukan gerak keruntuhan Cepheid pada Matahari hanyalah gerak semu yang berasal dari parameter intrinsik Cepheid.

Para astronom ini juga menemukan bahwa deviasi dalam pengukuran kecepatan Cepheid memiliki hubungan dengan elemen kimia di atmosfer Cepheid. Hasil pengamatan yang jika digeneralisir pada seluruh Cepheid di Bima Sakti akan menunjukan kalau sebenarnya rotasi Bima Sakti itu sederhana dan simetri terhadap sumbunya.

Limpahnya Air di Ruang Antar Bintang

air dalam bentuk padat banyak ditemukan dalam berbagai bentuk baik di lautan di Bumi maupun di Tata Surya dan di awan antar bintang.
air dalam bentuk padat banyak ditemukan dalam berbagai bentuk baik di lautan di Bumi maupun di Tata Surya dan di awan antar bintang.
Air, komponen yang satu ini sangat penting dalam kehidupan. Tidak hanya bagi kehidupan manusia sehari-hari air menjadi penting. Air merupakan komponen penentu bagi terbentuknya kehidupan dan pencarian kehidupan yang lain. Tak bisa dipungkiri mencari planet layak huni salah satu syaratnya adalah memilikiair di permukaan dalam bentuk cair.

Lantas, apakah air sulit dicari? Memang tidak mudah mendapatkan air yang cair di planet lain. Namun di angkasa, air merupakan materi padat paling berlimpah yang bisa ditemui. Tak percaya? Astronom sudah menemukan begitu banyak air padat tersebut di berbagai planet, satelit, komet dan di awan antar bintang. Pertanyaannya, bagaimana air itu bisa ada disana? Tak ada yang benar-benar tau bagaimana air bisa terbentuk dalam ruang antar bintang yang gelap dan beku itu.

Yah setidaknya itu tidak diketahui sampai saat ini. Tapi ada berita baru. Akira Kouchi dan teman-temannya dari Institute of Low Temperature Science di Hokkaido University, Jepang, berhasil membuat air untuk pertama kalinya dalam kondisi yang mirip dengan di ruang angkasa.

Air ternyata sangat mudah terbentuk ketika oksigen dan atom hidrogen bertemu. Masalahnya, tidak banyak oksigen yang berbentuk gas di dalam awan debu antar bintang. Jadi kemungkinannya, air terbentuk saat atom hidrogen berinteraksi dengan oksigen beku yang padat di permukaan butiran debu di dalam awan.

Kouchi dan timnya menciptakan kembali proses ini dengan membuat lapisan oksigen padat pada lapisan di temperatur 10 K dan kemudian menembaknya dengan hidrogen. Cukup meyakinkan karena spektroskopi infra merah mengkonfirmasikan keberadaan air dan peroksida hidrogen, dan dalam jumlah yang tepat bisa menjelaskan kelimpahan air yang terlihat di dalam awan antar bintang.

Menarik bukan? Semua air di komet, Mars, dan di lautan Bumi seharusnya juga terbentuk dari proses yang salam dalam awan debu antar bintang saat baru membentuk Matahari dan planet-planetnya.

Bisa dikatakan alam semesta dipenuhi oleh jus awan antar bintang.

Sumber : the physics arXiv blog, arxiv.org/abs/0805.0055: Formation of Hydrogen Peroxide and Water from the Reaction of Cold Hydrogen Atoms with Solid Oxygen at 10 K

Blogroll

About Me

Foto saya
ART. Writer. Designer. Photographer. Illustrator. Drawing